Google

Wednesday, April 30, 2008

Internet at home? Makin betah dirumah !

Satu minggu ini adalah hari2 yg mengasyikkan namun juga melelahkan bagi saya.

"Mengasyikkan" karena saya sudah tidak perlu lagi repot2 ke kampus IKM UGM, atau ke kampus Poltekkes Yogyakarta malam2 untuk mencari hot spot area, karena sejak tanggal 23 April '08 kemarin dirumah saya sudah terkoneksi internet dengan paket Speedy Program IG2S dari Telkom. Alhamdulillah...! Sebenarnya ini agak telat, karena sebenarnya sahabat saya sesama dosen Poltekkes sudah menawari utk ikut pasang Speedy sejak awal bulan Maret yg lalu, namun saya merasa masih belum membutuhkan. Padahal biaya berlangganannya bisa lebih hemat Rp 20.000,-/bln jika saja saya ikut mendaftar sebelum 1 April 2008. Namun tak mengapa. Better late, than never !

"Melelahkan" karena saya punya jatah 50 jam koneksi untuk bulan April (Paket Time Base = 50 jam/bln) yang harus saya manfaatkan/ habiskan dalam waktu 1 minggu saja, karena kalau tidak dihabiskan nantinya sisa jam koneksi pada bulan sebelumnya tidak bisa diakumulasikan untuk penggunaan bulan berikutnya.

(Saya didepan laptop dan ethernet Speedy)

Maka, mulailah saya menjadi netter sejati. Dari pagi, siang, malam saya khusyuk mengakses internet... Browsing, Surfing kesana-kemari, Chatting dgn sdr di Jakarta dan teman2 kuliah yg sudah pada mudik libur, Downloading program, artikel2& jurnal menarik, Posting beberapa artikel di 2 blog yg saya kelola, belajar banyak hal dari internet ini... Anak saya juga ikut nimbrung minta di-searching-kan gambar2 binatang, mobil, pesawat, dll. Sampai-sampai mata rasanya pedih, kepala nyut-nyutan karena kelamaan di depan komputer.

Syukurlah, istri sangat pengertian, malah mensupport dengan memberikan dopping "Eyevit" (multi vitamin untuk mata, agar tidak lelah sekaligus sebagai anti oksidan.

Ini merupakan pengalaman pertama yg sangat berkesan dan melelahkan bersama internet. Smoga bulan depan tidak lagi dikejar2 deadline hanya untuk menghabiskan quota koneksi selama 50 jam/bln. Idealnya sih akses harian tak lebih dari 2 jam sehari sehingga dapat memanfaatkan akses yg tersedia secara lebih nyaman, sehat dan lebih bermanfaat.

Labels:

Friday, April 25, 2008

Kenapa "alhiko" ?

Ada teman yg bertanya2, dari mana asal muasal datangnya inspirasi kata alhiko untuk merepresentasi diri Abdul Hadi kadarusno didunia maya ini (internet) ?

Awalnya bingung juga bagaimana mau menyingkat / membuat inisial / akronim nama saya yang cukup panjang itu. Singkat kata, dapatlah inspirasi dari seorang tokoh ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara: Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi Hamka (diambil dari huruf awal dari setiap kata, red).

Saya juga pingin punya akronim/inisial nama yang seperti itu: Mudah diingat, khas, dan otentik (made in sendiri, red), serta kalau bisa berbau Islami. Alhamdulillah, setelah beberapa kali mencoba mengotak-atik huruf dan kata yang ada pada nama asli saya, akhirnya muncullah "kata mutiara" itu = ALHIKO !

Unsur2 yang tadi disebutkan ternyata sudah terkandung dalam kata ALHIKO ini, mudah diingat, khas, otentik, dan Islami.
Islami ?? Koq bisa ?! Lha iya lah, kata-kata dalam Islam (Bahasa Arab,red.) banyak skali mengandung/diawali dengan kata Al-........., seperti : Al Qur'an, Al Hadist, Al Baqarah, Al Jazirah, Al Ma'tsurat, Al Malik, Al Aziz, dll.

Nah, klop sudah ! Sejak saat itu, kata alhiko menjadi trademark kebanggaan saya, mulai dari email, hingga nama blog ini. Oh ya, untuk email saya : alhiko@yahoo.com, sudah saya gunakan sejak 1997-an. Hem... sudah lama juga khan?!
Ini karena dorongan perlunya alamat email untuk dapat terus menyambung silaturrahim dengan seorang sahabat dekat yang kala itu sedang menempuh studi S2 di Jerman. (Terima kasih sahabatku, semoga Allah senantiasa mengasihi mu sekeluarga, Amin...).

Ada kejadian lucu yang kemudian terkait dengan inisial saya itu, yaitu pada saat kami mahasiswa S2 SIMKES UGM mengikuti Seminar E-Healthcare: Strategi Adopsi dan Implementasi Teknologi Informasi untuk Pelayanan Kesehatan pada hari Sabtu, 19 April 2008 di Auditorium Lt.5 Jogja International Hospital (JIH) . Panitia seminar, yang kebetulan dari pengelola S2 SIMKES UGM tempat saya kuliah, menyediakan aneka doorprize bagi peserta seminar yang dibagikan pada akhir kegiatan penutupan seminar. Mulai dari kaos, tas, hingga yang tertinggi adalah 2 buah HP+kartu perdana Smart.

(Saya bersama peserta seminar lain yang mendapat HP)

Tak disangka tak dinyana, nomor kupon saya (No.61) muncul sebagai salah satu yang beruntung memdapatkan doorprize HP tersebut. Alhamdulillah !!! baru kali ini saya mendapatkan doorprize, dan tak tanggung2 ... sebuah paket HP ! Bangga, haru & penuh syukur saya panjatkan kepada Allah SWT. Ini rizki nomplok, seperti dapat durian runtuh. Smoga bermanfaat bagi jalinan silaturrahim kepada sanak saudara, kerabat dan handai tolan (Siapa tuh?! he2..).

Oleh teman2 SIMKES dikatakan: alhiko hari ini berubah jadi alhoki.... He2...Ada-ada aja. Tapi boleh juga doanya.... Terima kasih!!! Smoga demikian slalu nasib saya... Alhiko = Al Hoki, fiddun ya wal akhirat... Allahumma Amien ...

Labels:

Mengunjungi Museum sebagai metode pendidikan efektif

(Berpose didepan Rudal dan pintu Museum)

Museum termasuk dalam fasilitas yang wajib ada sebagai pusat belajar masyarakat. MEXT (Kementerian Pendidikan Jepang) mengkategorikan museum sebagai fasilitas belajar pendidikan sosial.
``Dengan melihat koleksi di museum, sebenarnya kita bisa tahu seperti apa wajah suatu bangsa di masa lalu dan yang akan datang``

Pada hari Ahad, 20 April 2008 keluarga kami (Abd. Hadi. K, Rohmah Insyatun dan Hanif Abd. Karim Afandi) berkesempatan mengunjungi Museum Pusat TNI AU Dirgantara Manggala, yang berlokasi di Komplek TNI AU Bandara Adi Sucipto Jl. Solo, Yogyakarta.

(Istri dan putra I kami berpose di samping pesawat Jet)

Ini merupakan pengalaman pertama bagi kami sekeluarga. Meskipun saya sendiri sudah bermukim di Yogyakarta sejak tahun 1992 lalu, namun baru kali ini berkesempatan mengunjunginya. Ternyata sangat banyak koleksi pesawat, senjata, foto, dan atribut militer di TNI AU yang dapat kita saksikan.

(Berpose di pesawat helikopter)

Museum ini termasuk tempat tujuan wisata favorit bagi banyak rombongan tour/studi banding yang berkunjung ke DIY. Terbukti, pada saat kami berkunjung, puluhan mobil bus besar dan kecil, serta mobil-mobil pribadi dari luar dan dalam DIY memenuhi tempat parkir yang tersedia.
Ruangan hanggar tempat pesawat-pesawat dan perlengkapan militer TNI AU dipajang, penuh sesak oleh pengunjung mulai dari anak (TK, SD, SMP, SMA), pemuda (Karangtaruna, Mahasiswa, dll), hingga dewasa (Ibu-ibu pengajian/PKK, Bapak-Bapak , dll) dan keluarga.
Para pengunjungpun tampak sangat menikmati kunjungannya di museum tersebut.

(Berpose di depan koleksi baju seragam TNI AU)

Biaya yang dikutip untuk dapat menyaksikan koleksi-koleksi dalam museum tersebut hanya sebesar Rp. 3000,- per orang, jadi tak terlalu mahal jika dibandingkan dengan pengalaman dan ilmu pengetahuan yang akan kita peroleh setelah berkunjung ke museum. Jika kita datang secara berombongan, maka petugas piket dari TNI AU akan memandu kita sambil memberi penjelasan dan menjawab pertanyaan yang diajukan pengunjung museum.

Museum selayaknya menjadi wahana pendidikan diluar rutinitas belajar mengajar, demikian disampaikan akademisi Perancis Dr. Philippe Grange dalam Semiloka “Pengembangan Potensi Museum Indonesia”, Sabtu (12/4) di Auditorium ITB.

Di Indonesia, terdapat banyak museum-museum.
Menurut Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Depbudpar Hari Untoro Dradjat (20/06/07) terdapat sebanyak 287 museum dalam pengelolaan pemerintah. Museum yang terawat dengan baik hanya 60 persennya. Museum yang dikelola swasta/pribadi juga banyak.

Di setiap Propinsi ada museum masing-masing. Di Jawa Tengah ada Museum Ronggowarsito, Museum Rekor Indonesia atau MURI di Semarang, Museum Kereta Api Ambarawa, Museum Kapal Samudraraksa-Borobudur, Museum Radya Pustaka di Surakarta, dll. Di Yogyakarta ada Museum Benteng Vredenberg, Jogja Kembali, Biologi, Wayang, Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman, dll.
Di Jakarta ada
Museum Nasional, Museum Indonesia TMII, Monumen Air Mancur, Proklamator, Museum Sumpah Pemuda, dll. Di Bandung ada Museum Geologi, Mandala Wangsit, Sri Baduga, Asia Afrika, serta Museum Pos dan Giro, dll. Begitupun di Propinsi2 lain.

(Berpose di depan bekas Pesawat pembom TNI-AU)

Sungguh banyak yg dapat kita peroleh dengan berkunjung ke museum sejarah, museum seni dan Museum sains. Salah satu persoalan yang dihadapi pengelolaan museum adalah rendahnya minat kunjungan warga. Parahnya, sebagian pengunjung merupakan ‘paksawan’ (orang-orang yg terpaksa ke museum), termasuk dalam kelompok ini adalah murid–murid sekolah yang mengikuti program study tour.
Museum hanya ramai jika sedang ada rombongan kunjungan study tour dari sekolah-sekolah, instansi. Selebihnya rasanya selalu sepi dari pengunjung.

Mungkin kita lebih memilih mengunjungi shopping, mall, tempat rekreasi, atau tempat hiburan lainnya ketimbang mengunjungi museum. Katanya Bosen main ke museum karena Cuma itu-itu aja? Kalo ke mal, bisa belanja, nonton, main game, dan melakukan segudang kegiatan lain yang menyenangkan. Berkunjung ke museum, is no fun at all! Tapi benarkah demikian ?

Ada suatu penelitian yang mengatakan karakter masyarakat kelas atas atau masyarakat terdidik adalah rajin ke museum, menggemari musik klasik dan rajin datang ke konser. Mungkin ada benarnya sebab hanya orang beruang yang bisa mengakses itu semua. Tapi di Jepang, karena ongkosnya terjangkau, maka masyarakat kelas bawah pun kadang-kadang dapat tiket konser gratis atau murah (^_^).

Wah, sepertinya kontras banget dengan yang terjadi di masyarakat Indonesia, ya?
Makanya mulai saat ini kami bertekad akan rajin berkunjung ke museum-museum pada saat libur/weekend, untuk
mendapatkan pengalaman dan pembelajaran yang berharga. Membawa anak-anak ke dalam suasana belajar sambil berlibur, dan menjadi bagian dari masyarakat kelas atas atau masyarakat terdidik... Amin...!

Labels: ,

Thursday, April 24, 2008

Internet bikin pintar / bikin otak tumpul?

Seorang pemenang Nobel pernah menyatakan bahwa internet membawa kebodohan. Pada kesempatan lain, seperti dikutip detikINET dari The Argus, Rabu (16/1/2008), Profesor Tara Brabazon dari University of Brighton, Inggris mengungkapkan pendapat yang kurang lebih sama dalam pidatonya.

Ia menandaskan, banyak anak muda di seluruh dunia menggampangkan proses pendidikan gara-gara internet. Ditambahkannya, keberadaan internet berpotensi menumpulkan otak dengan membunuh rasa ingin tahu para pelajar.

Keberadaan mesin cari misalnya, membuat mahasiswa mengandalkan internet sebagai sumber informasi untuk menyusun tugas-tugas kuliah. Padahal menurut Brabazon, situs semacam Google menawarkan konten yang tidak berbobot bagi mahasiswa.

"Ini adalah waktunya untuk mundur sejenak dan mencari cara yang benar dalam pemakaian teknologi. Terlalu banyak pelajar yang tak memakai otak mereka karena teknologi," tandas Prof Brabazon.

Dia mengungkapkan bahwa ribuan mahasiswa membuat tugas kuliah yang tak bermutu karena hanya mengandalkan mesin cari internet. Fenomena seperti ini disebutnya berdampak tidak baik bagi semua pihak.

Prof Brabazon pun tak segan meminta mahasiswanya membuat penelitian dengan membaca buku-buku perpustakaan dan bukannya mencari di internet. "Saya melarang semua mahasiswa memakai Google, Wikipedia, dan semua situs semacam itu," ujarnya.

Menurut saya sendiri, tidak tepat juga jika menganggap internet bikin otak tumpul. karena untuk bisa mengakses internet sendiri kita perlu belajar (menggunakan otak), untuk bisa mendapatkan bahan kuliah yang relevan, up to date, dan menarik dari internet juga perlu belajar
(menggunakan otak), dengan demikian otak kita bisa menjadi makin pintar dengan komputer dan internet. Lain halnya jika kita hanya meng-copy-paste saja bahan yang kita dapatkan dari internet itu untuk mengerjakan/menjawab tugas-tugas kuliah dari dosen. Tentu otak kita tak akan bertambah apa2, melainkan hanya menjadikan kita sebagai plagiator dan bahkan melanggar hukum/hak cipta orang lain.

Teknologi (Komputer, Internet, TV, Radio, HP, dll) tidak harus dijauhi, ditinggalkan, tapi harus dimanfaatkan secara bijak dan tepat agar memberi kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan produktifitas hidup kita... Fiddunya wal Akhirat... Semoga...




Labels: ,

Thursday, April 10, 2008

Flu Burung = Senjata Biologi AS-WHO?

Menkes Siti Fadilah Kuak Konspirasi Bikin Senjata Biologi dari Flu Burung

Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) bikin gerah World Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS). Fadilah berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1). Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It's Time for the World to Change. Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakuakn negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung.

"Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara kita," ujar Fadilah kepada Persda Network di Jakarta, Kamis (21/2). Situs berita Australia, The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi.

Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO. "Kegerahan itu saya tidak tanggapi. Kalau mereka gerah, monggo mawon.Betul apa nggak, mari kita buktikan. Kita bukan saja dibikin gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menindas kita, lewat WTO, lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau tidak ada mereka, kita sudah kaya," ujarnya.

Fadilah mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak masing-masing 1.000 eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Total sebanyak 2.000 buku. "Saat ini banyak yang meminta, jadi dalam waktu dekat saya akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau cetakan pertama dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini, saya sedang mencari bicarakan dengan penerbitan besar," katanya.

Selain mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950, mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua. "Saya sedang menulis jilid kedua. Di dalam buku itu akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah berubah dalam bentuk kelontongan. Virus yang saya kirimkan dari Indonesia diubah-ubah Pemerintahan George Bush," ujar menteri kesehatan pertama Indonesia dari kalangan perempuan ini.

Siti enggan berkomentar tentang permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memintanya menarik buku dari peredaran."Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa Indonesia, sebagian, sekitar 500 buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi dijual ditoko buku. Yang bahasa Inggris dijual," katanya sembari mengatakan, tidak mungkin lagi menarik buku dari peredaran.

Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu.

Mengubah Kebijakan
Apapun komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia. Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah dipakai selama 50 tahun. Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005.

Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung. "Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi, " tulis The Economist.

The Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika, edisi pekan lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam. Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung.

Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen. Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO CC meminta sampel dikirim ke Hongkong?

Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit virus.

Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung. Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi.

Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak.

Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin. Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC.

Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui. Los Alamos ternyata berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu, untuk vaksin atau senjata kimia?

Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, memujinya.

Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara.

Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia. Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO di akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.

(Sumber : KomunitasPMI@yahoogroups.com, dikirim oleh : topanix@gmail.com)

Indonesia membutuhkan lebih banyak anak2 bangsa semacam Ibu dr. Siti Fadilah Supari yg siap berjihad (berjuang dengan sungguh2) utk menegakkan kebenaran dan keadilan, meruntuhkan dominasi negara2 adikuasa demi kesejahteraan seluruh umat manusia, bukan hanya bagi memenuhi nafsu keserakahan negara2 adikuasa (AS dan negara2 maju lainnya, red).

Sektor kesehatan telah menunjukkan hal tsb, kini keberanian serupa juga dituntut muncul dari para tokoh2 lainnya dari sektor ekonomi, pendidikan, politik luar negeri, pertahanan-keamanan, dll agar kedaulatan kita sebagai bangsa dan negara tidak dipandang sebelah mata oleh negara adi kuasa.

Siapkah kita mengikuti jejak menkes tersebut ?

Labels: ,