Google

Saturday, October 04, 2008

Mudik, Tradisi silaturrahmi tahunan

Mudik adalah momentum yg selalu ditunggu2, tak hanya oleh kaum muslim yang telah menyelesaikan puasa Ramadhan, namun juga oleh kaum non muslim, bahkan dipersiapkan sejak jauh2 hari, terlebih bagi mereka yg mudiknya ke daerah yg jauh dari tempat tinggal/kerjanya sekarang.
Menanti bus Paulan-Kartosura yang jarang2 muncul.

Beruntung saya mempunyai istri yang berasal dari suku/daerah yg berbeda, sehingga setiap tahun kami pasti merencanakan mudik lebaran. Mungkin itu pulalah yg akan melestarikan tradisi mudik di masyarakat Indonesia. Bayangkan kalo ada suami-istri berasal dari daerah yang sama, lalu menetap/bekerja di daerah yang sama juga, pastilah "gersang/hambar" skali suasana lebarannya, karena tidak mudik kemana2...

Mudik lebaran dengan segala hambatan dan kesulitan yang akan ditemui dijalan, slalu dirindukan karena mengingatkan seseorang agar tidak lupa akan akar budayanya. Setiap tahun dunia berubah, situasi lingkungan juga berubah, termasuk perubahan status sosial-ekonomi -budaya dari setiap orang yang mudik. Hal ini lah yg selalu menarik untuk dijadikan bahan cerita pada saat bersilaturrahmi lebaran.
Rumah Mertua di Jl. Raya Adisucipto, Paulan, Colomadu.

Rasanya sudah terlalu lama saya tidak mudik ke kampung halaman saya di Banda Aceh. Sejak lulus SMA 3 Banda Aceh pada tahun 1992 hingga sekarang saya belum pernah mudik. Jadi saya tak tahu bagaimana suasana NAD pasca DOM (Daerah Operasi Militer) dan Tsunami. Hal ini disamping karena faktor biaya yg terlalu mahal, jarak yang terlalu jauh, dan kondisi anak2 yg masih kecil2, sehingga keinginan untuk mudik lebaran di Aceh harus ditunda lagi. Bersyukur pada lebaran 1429 H/ 2008 M ini kami bisa mudik lagi untuk merayakan Idul Fitri di kampung halaman istri di Desa Paulan, Kec. Colomadu, Kab. Karanganyar, Jawa Tengah.

Berpose didepan rumah simbah Solo.

Kami sekeluarga mudik pada hari Selasa, 30/10-08 menggunakan bis Yogyakarta - Solo, karena jaraknya tidak terlalu jauh & lebih hemat (meski harga tiket selama musim mudik naik tak terkendali). Meskipun jarak Ykt-Solo dekat, namun karena membawa 2 anak kecil shg bawaan nya juga harus banyak.

Setelah sholat Id di lapangan Desa Paulan, kami melakukan sungkeman kepada Bpk-Ibu mertua, lalu menerima kunjungan para tetangga dan saudara, kemudian berkunjung ke rumah kakek dan nenek di Ngasem, Colomadu, Kab. Karanganyar.
Keluarga besar Istri (minus 2 orang adik yang bekerja di Papua dan Lampung).

Yang khas dari tradisi mudik ini adalah :
  1. Sungkeman kepada ke-2 orang mertua, kakek-nenek, dan keluarga lain yang lebih tua.
  2. Minuman spesial Tape ketan yang dibuat oleh setiap keluarga untuk para tamu.
  3. Bagi yg masih mempunyai anak kecil, biasanya akan mendapat "fitrah" (uang tali asih,red) dari kakek-nenek dan paman-bibinya .
  4. Pamer kekayaan, pangkat, jabatan, dan status sosial. Inilah yang biasanya dilakukan setiap orang yang mudik, yaitu berusaha -meski dengan memaksakan diri- tampil dgn pakaian baru, HP baru, kendaraan baru, dll. Syukurlah kami dapat mudik dan bersilaturrahim tanpa harus berpamer ria.
Setelah dua hari bersilaturrahim ria, akhirnya kami harus pulang pada hari Kamis, 2/10-08 siang karena tugas2 domestik sudah menanti di Yogyakarta, termasuk istri yang harus mempersiapkan diri kembali untuk piket sebagai dokter umum di UGD RSUD Wonosari.

Happy Silaturrahim... Semoga dosa kita kepada sesama menjadi lebur semua, sebagaimana -insya Allah- dosa kita kepada-Nya sudah dilebur-Nya melalui sarana ibadah Ramadhan yang lalu... Amin... !

Semoga setelah memasuki bulan Syawal ini kita semakin meningkat amal ibadahnya, tak hanya peningkatan Berat Badan... he2.

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home